Beranda | Artikel
Argumentasi Atas Tuduhan bahwa Syariat Islam Itu Kejam
13 jam lalu

Syariat Islam memiliki ragam bentuk pengaplikasian dalam merespon kondisi umat. Mulai dari himbauan penuh kelembutan hingga hukuman yang bersifat tegas. Semua bentuk syariat ini memiliki hikmah untuk perbaikan umat manusia. Imam Al ‘Izz bin Abdissalam rahimahullah berkata,

إن الشريعة كلها مصالح؛ إمَّا درء مفاسد، أو جلب مصالح

“Sesungguhnya seluruh syariat adalah untuk tujuan maslahat, baik dalam bentuk menolak mafsadat (keburukan) ataupun meraih mashlahat (kebaikan).” (Al-Qawaid, 1: 9; dalam Ushul Dakwah, hal. 301) [1]

Dakwah yang berisi ilmu yang jelas beserta penyampaian yang lemah-lembut ditujukan untuk mengajak manusia ke jalan kebaikan. Namun, tumpuan Islam tidak hanya kepada dakwah yang lemah-lembut. Dalam Islam, kehangatan dakwah tersebut disertai dengan ketegasan dalam sistem hukumnya.

Hukum hadd [2] dan ta’zir yang ditetapkan dalam konteks syariat Islam, pada perspektif sebagian orang di masa kini terkesan keras sekali. Hal ini karena penilaiannya ditinjau pada bentuk hukumannya yang fisikal, seperti potong tangan bahkan penyembelihan. Oleh karena itu, dalam artikel ini, penulis akan menguraikan perspektif lain dari penegakan hukuman -khususnya hadd- dalam Islam yang membawa rahmat dalam praktiknya.

Mengambil hikmah penegakan hukuman hadd dari Maiz bin Malik

Salah satu sahabat yang pernah terjatuh dalam dosa besar adalah Maiz bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Beliau pernah berzina dengan salah satu wanita dalam tanggungan Hazzal Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu. Maiz sangat bingung atas dosa yang ia lakukan tatkala seluruh kaum muslimin berangkat berjihad. Akhirnya, beliau melapor kepada Hazzal sang Tuan, lalu Hazzal menyarankan untuk mencari solusi kepada Nabi ﷺ. Akhirnya, setelah Rasulullah ﷺ berusaha berpaling dari persaksian itu, mau tidak mau Rasulullah menegakkan hukuman hadd atasnya.

Pada malam hari setelah hukum hadd ditegakkan kepada Maiz, Rasulullah ﷺ berkhotbah di hadapan kaum muslimin tentang apa hikmah dari kejadian ini.

قال رسول الله ﷺ في خطبته: أَوَ كُلَّمَا انْطَلَقْنَا غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَخَلَّفَ رَجُلٌ فِي عِيَالِنَا لَهُ نَبِيبٌ كَنَبِيبِ التَّيْسِ !! عَلَيَّ أَنْ لَا أُوتَى بِرَجُلٍ فَعَلَ ذَلِكَ إِلَّا نَكَلْتُ بِهِ

Rasulullah ﷺ berkata dalam khotbahnya, “Mengapa ketika kami berangkat berjihad di jalan Allah, salah seorang dari kalian ada yang tidak ikut berangkat dan bersama keluarga kami, ia memiliki desahan seperti kambing jantan (saat kawin). Maka tidaklah kalian menghadapkan kepadaku orang yang melakukan perbuatan itu melainkan aku akan memberinya sanksi.” (HR. Muslim no. 1694, terjemahan disandarkan kepada “Nabi Sang Penyayang” cet. Al-Kautsar, hal. 212)

Isi khotbah beliau mengajak umat untuk menyelaraskan akal dan perasaan. Bagaimana jika dalam keadaan seluruh orang berjuang, tetapi ada salah satu dari kelompok tersebut yang berkhianat, yakni berzina dengan salah satu keluarga pejuang tersebut? Hal ini yang menjadi konteks Maiz saat berzina. Pada saat itu, orang-orang keluar berperang sementara Maiz berzina dengan budaknya Hazzal. [3]

Hikmah yang lebih besar: Mencegah tersebarnya keburukan

Maka, bayangkanlah keburukan yang dapat tersebar dengan tidak ditegakkannya hukuman hadd! Sebuah momen perjuangan di jalan Allah ﷻ yang mulia dimanfaatkan oleh seseorang untuk berkhianat bermaksiat kepada Allah ﷻ. Rasulullah ﷺ jelaskan bahwa hal ini bisa terjadi kepada siapa saja. Bahkan korbannya pun bisa siapa saja dan dari keluarga siapapun. Tentu seorang manusia yang berakal akan marah jika keluarganya dinodai!

Saat seseorang berzina, ia telah menodai kehormatan banyak pihak. Ia telah kehilangan akal kemanusiaannya, sehingga sudah berlaku layaknya hewan. Karena itulah, permisalan Nabi ﷺ dalam khotbah tersebut adalah “layaknya desahan kambing”. Selain karena ketepatan permisalan, juga karena hinanya perilaku tersebut.

Hukuman hadd ditegakkan juga agar terjaga keadilan yang lebih luas. Saat seseorang berzina, ia telah menodai kehormatan banyak pihak. Jika tidak dihukum, maka betapa banyak hak orang yang tidak ditegakkan? Belum lagi dampaknya ketika hukum hadd tidak ditegakkan karena alasan pelakunya sudah tobat, misalnya, maka orang-orang akan menyepelekan perkara ini. Akan muncul pemikiran, “Tidak apa-apa berzina, tidak apa-apa orang lain tahu, yang penting aku bertobat!” Hal ini akan merusak tatanan moral masyarakat.

Sebagaimana Nabi ﷺ memberikan pernyataan tegas di akhir khotbahnya, bahwa yang berzina semisal Maiz akan tetap dirajam sampai mati. Tujuannya adalah agar mencegah umat secara umum dari perbuatan ini. Adapun praktiknya ketika kasusnya benar-benar terjadi, terbukti Rasulullah ﷺ mengedepankan pengampunan dan tidak mau tahu dengan maksiat yang dilakukan pribadi tersebut.

Hukuman hadd adalah bentuk menjaga hak Allah

Tidak hanya hak manusia yang ternodai, asalnya hak Allah ﷻ yang pertama kali ternodai saat seseorang bermaksiat. Oleh sebab itu, Allah menentukan langsung bentuk hukuman hadd bagi pelaku maksiat zina. Maka, penegakan hukuman hadd adalah bentuk penjagaan terhadap hak Allah ﷻ.

Sebagaimana yang kita ketahui, hak Allah ﷻ jauh lebih utama dibandingkan hak manusia. Namun, terdapat pertimbangan rahmat kepada pelaku, sehingga dalam praktiknya, Nabi ﷺ tidak langsung menghukum Maiz. Nabi ﷺ berulang kali beralih dari persaksian Maiz. Tujuannya adalah:

  1. Agar persaksiannya kokoh dan tegak sebagai hujjah dalam menghukum;
  2. Menyelamatkan pelaku dari hukuman dan mencukupkan dengan tobat kepada Allah ﷻ.

Akan tetapi, dalam konteks Maiz, beliau berulang kali menekankan persaksiannya sehingga persaksiannya sudah kokoh, keteguhan hatinya untuk dihukum besar, serta sudah diketahui oleh umat.

Penegakan hukuman hadd menampilkan ketegasan dan kelembutan syariat

Sikap Nabi ﷺ ini mengandung hikmah yang luas, menunjukkan keseimbangan dalam ketegasan dan kelembutan. Keadaan seseorang bermaksiat dan menyimpan untuk dirinya sendiri tidak akan berdampak luas secara langsung kepada masyarakat. Oleh karena itu, Nabi ﷺ mendorong seseorang untuk menutupi aibnya.

Adapun ketika maksiat itu sudah terangkat di depan hakim seperti Nabi ﷺ atau tersebar luas di masyarakat, terdapat dampak besar, yakni:

  1. Timbulnya gonjang-ganjing di masyarakat;
  2. Terhinanya pelaku;
  3. Beratnya hukuman hadd yang akan menimpa pelaku.

Ketahuilah, tujuan utama syariat Islam bukanlah untuk menghukum manusia. Namun, untuk melahirkan kedamaian dan ketentraman dengan mencegah dari perbuatan buruk, sebab ancamannya teramat berat. Atas dasar inilah, syariat Islam dalam praktiknya begitu mendetail dalam penetapannya, mengedepankan rahmat dan kasih sayang dalam putusannya, serta berimbang (wasath) juga hikmah dalam penerapannya.

Hukuman hadd menolong pelakunya

Selain itu, hukuman hadd yang ditegakkan akan menolong pelakunya di dunia dan akhirat. Karena hukuman hadd akan menjadi tiang pancang pertobatannya di hadapan Allah ﷻ. Hukuman hadd yang ditegakkan juga akan menjadi bukti di hadapan manusia bahwa pelaku telah menerima hukuman, maka tidak ada lagi peluang bagi manusia untuk mencelanya. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah ﷺ setelah merajam Maiz dan wanita Ghamidiyah.

Ketika Maiz dirajam, beliau akhirnya berusaha lari karena tidak kuat. Namun, ada seorang yang melemparkan tulang kepadanya hingga akhirnya terjatuh dan wafat. Nabi ﷺ pun bersabda,

هَلَّا تَرَكْتُمُوهُ لَعَلَّهُ أَنْ يَتُوبَ فَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَيْ

“Mengapa kalian tidak membiarkannya, siapa tahu ia bertobat dan Allah menerima tobatnya.” (HR. Abu Dawud no. 4419 dinilai hasan)

Adapun ketika wanita Ghamidiyah yang mengakui perzinahannya, kemudian hukum hadd ditegakkan kepadanya, lalu Khalid bin Walid melampaui batas dalam merajamnya yang disertai laknat. Nabi ﷺ pun menasihatinya,

فقال: مهْلًا يا خالدُ، فوالذي نَفْسي بيَدِه لقد تابتْ تَوبةً لو تابَها صاحبُ مَكْسٍ لغفَرَ اللهُ له. ثمَّ أمَرَ بها فصلَّى عليها، ودُفِنتْ.

“Lemah lembutlah, wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ia telah bertobat dengan tobat yang seandainya seorang pemungut pajak bertobat seperti itu, niscaya Allah akan mengampuninya.” Kemudian beliau memerintahkan agar jenazahnya disalatkan, dan ia pun dimakamkan. (HR. Muslim no. 1695)

Riwayat-riwayat ini sangat jelas menunjukkan tujuan utama dari penegakan hukuman syariat adalah rahmat kepada semuanya tanpa mengorbankan keadilan. Bukanlah tujuan dari penegakan hukum hadd adalah sekadar menghukum pelaku. Realita praktiknya, justru Nabi ﷺ sangat menghindari menghukum seseorang tanpa ada maslahat yang jelas. Banyak argumentasi lain yang menunjukkan bahwa hukum hadd tujuannya bukanlah menghukum, tetapi menegakkan keadilan dan rahmat di tengah umat manusia. Ragam riwayat ini hendaknya dibaca oleh para liberalis dan penentang tegaknya hukuman syariat.

Baca juga: Tidak Ada Pertentangan (Kontradiksi) dalam Syariat Islam

***

Penulis: Glenshah Fauzi

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi:

  • Ar-Rahmah fi Hayati Rasulillah, hal. 116; karya Prof. Dr. Raghib As-Sirjani.
  • Nabi Sang Penyayang, cet. Al-Kautsar, hal. 212.
  • Rujukan hadis nasihat kepada Khalid bin Walid: https://dorar.net/hadith/sharh/132502
  • Syarah Riyadhus Shalihin oleh Syaikh Ahmad Hutaibah (6: 12): https://shamela.ws/book/36997/51
  • Kitab Ushul Ad-Dakwah karya Syekh Dr. Abdul Karim Zaidan: https://shamela.ws/book/22615/299
  • Ragam referensi riwayat dapat dilihat dalam Bab Rajam dalam kitab hadis Shahih Muslim dan Sunan Abu Dawud. Terdapat riwayat Jabir bin Samurah, Abu Hurairah, dan Ibnu Buraidah dalam kisah ini. Namun, tidak disebutkan semuanya dalam rangka meringkas artikel.

 

Catatan kaki:

[1] Kitab Ushul Ad-Dakwah, karya Syekh Dr. Abdul Karim Zaidan.

[2] Hukum hadd adalah hukuman yang ditetapkan oleh Allah ﷻ kepada pelaku pidana dalam konteks hukum Islam yang telah termaktub spesifik pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

[3] Keterangan ini didapatkan dari Syarah Riyadhus Shalihin oleh Syekh Ahmad Hutaibah (6: 12). Semoga Allah ﷻ mengampuni kami dari kesalahan pemahaman.


Artikel asli: https://muslim.or.id/109701-argumentasi-atas-tuduhan-bahwa-syariat-islam-itu-kejam.html